Jas Merah, Jangan Sekali-Kali
Melupakan Sejarah, adalah ungkapan yang pernah dikatakan oleh Presiden
pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Sebuah kalimat pendek namun
memiliki arti penting yang harus dipahami oleh setiap orang. Sebuah
kalimat pendek namun sering diremehkan maknanya oleh banyak orang.
Sejarah, berasal dari kata “syajaratun”
(bahasa Arab) yang kemudian diserap menjadi bahasa Indonesia dalam
bentuk kata “sejarah”. Syajaratun dalam bahasa Arab memiliki
arti “pohon”. Sebuah pohon, pasti memiliki cabang-cabangnya
dan bagian-bagiannya, dimana antara bagian yang satu dengan yang lain,
saling berhubungan. Sehingga, dari saling keterkaiatn dan keterhubungan
itu, diketahui asal mula bagian-bagian pohon (seperti daun, akarn
cabang, batang), yaitu berasal dari tunas atau biji. Pohon juga
membentuk cabang, yang kemudian dari bentuk itu mengilhami dibuatnya
sebuah silsilah atau kronologi dalam sejarah, untuk memudahkan
penelusuran sebuah peristiwa tersebut. Dengan demikian, dari belajar
sejarah, seseorang dapat menelusuri dan mengetahui alur, kronologi, dan
detail peristiwa-peristiwa masa lalu dari berbagai bukti historisnya.
Dan dari situ pula, seseorang dapat membuat prediksi atas segala sesuatu
yang mungkin saja terjadi di masa yang akan datang. Maka dari itu,
sejarah memiliki arti penting.
Arti
penting sejarah yang pertama adalah sejarah dapat membentuk karakter
asli seseorang. Seperti yang telah dikemukakan, dari sejarah, seseorang
dapat mengenal peristiwa masa lalu dan mengetahui berasal darimana
dirinya. Sikap semacam ini dapat membawa seseorang pada penguatan
karakter.
Nahdlatul ‘Ulama, berasal dari
perjuangan para kyai dan kalangan pesantren untuk membantu bangsa dan
Negara menuju kemakmuran hidup di dunia dan akhirat kelak. Selain itu,
Nahdlatul ‘Ulama muncul sebagai sebuah jam’iyyah diniyyah islamiyyah
yang bermanhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dan berhaluan tradisionalis,
sebagai “perlawanan” terhadap kalangan modernis—puritan yang kadangkala
bersikap esktrem dan radikal. Selain itu, Nahdlatul ‘Ulama tidak serta
merta langsung berdiri, namun mengalami metamorphosis yang cukup
panjang.
Berangkat dari keprihatinan kalangan
pesantren terhadap kondisi bangsa Indonesia dan dengan dibekali
kegigihan, kalangan pesantren merespon Kebangkitan Nasional dengan
membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul
Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan
Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan
keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar,
(Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk
memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu,
maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa
kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan
asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan
semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak
diziarahi karena dianggap bi’dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat
sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan
Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah
pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang
selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan
penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan
pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925,
akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi
dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di
Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh minatnya
yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap
pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat
delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hijaz, yang
diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang
terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat
Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga
saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama,
yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil
menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan
berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka
setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup
dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka
setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan
untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama
(Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M).
Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar.
Dari sejarah Nahdlatul ‘Ulama tersebut,
dapat dipahami bahwa kalangan pesantren dan kalangan Ahlussunnah wal
Jama’ah memiliki beberapa karakter yang harus dipertahankan sampai waktu
yang tak terhingga. Karakter tersebut adalah peka terhadap kondisi
bangsa dan agama, responsive terhadap permasalahan yang terjadi, kreatif
dan inovatif di dalam memunculkan dan melaksanakan solusi, bertindak
nyata tidak sekedar berwacana, berani dan tidak mudah putus asa, teguh
memegang prinsip yang diyakini kebenarannya, serta motivasi yang tinggi
untuk selalu memberikan manfaatnya kepada bangsa dan agama.
Banyak peran-peran besar Nahdlatul
‘Ulama terhadap bangsa dan agama selain yang telah dikemukakan tersebut,
seperti misalnya peran K.H Hasyim Asy’ari ketika memimpin Majelis Islam
A’la Indonesia (MIAI) yang dibentuk oleh Nahdlatul ‘Ulama dan
Muhammadiyah pada tanggal 21 September 1937, peran Resolusi Jihad di
dalam membakar semangat jihad melawan penjajah pada tahun 23 Oktober
1945, peran K.H Hasyim Asy’ari ketika memimpin Masjelis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi) pada tanggal 7 November 1945, peran Nahdlatul ‘Ulama
dalam melawan kolonialisme secara terbuka yang salah satunya diwakili
oleh Laskar Hizbullah di bawah pimpinan K.H Zaenul Arifin dan Laskar
Sabilillah di bawah pimpinan K.H Masykur, peran Nahdlatul’Ulama dalam
merumuskan dasar Negara yang diwakili oleh K.H Wahid Hasyim di dalam
BPUPKI, peran Nahdlatul ‘Ulama di dalam memberantas PKI, peran Nahdlatul
‘Ulama di dalam membantu menyelesaikan berbagai persoalan Negara dan
memajukan bangsa dan agama, dan masih banyak lagi peran-peran besar
Nahdlatul ‘Ulama.
Meskipun begitu, peran-peran tersebut
seolah-olah telah dihapuskan oleh sejarah. Pepatah “siapa yang berkuasa
berhak menulis dan menghapus sejarah” ternyata tidak sekedar kalimat
saja. Kalangan Nahdlatul ‘Ulama yang sebenarnya mayoritas namun seperti
minoritas, telah dihapuskan oleh para sejarawan dan penguasa negeri ini.
Seolah-olah Nahdlatul ‘Ulama hanya sebagai organisasi besar tanpa output
yang jelas. Kondisi inilah yang kemudian dapat menyebabkan krisis
karakter, yaitu hilangnya karakter dari kalangan pesantren atau kader
Nahdlatul ‘Ulama karena figure-figur panutan mereka dan peran para
panutan mereka telah dihapuskan atau dikaburkan. Efeknya, Nahdlatul
‘Ulama bisa jadi semakin kehilangan jati diri, terutama kalangan muda
Nahdlatul ‘Ulama. Inilah tugas besar bagi Nahdlatul ‘Ulama sendiri.
Jangan sampai generasi tua Nahdlatul ‘Ulama tidak mengajarkan sejarah
kepada generasi penerus Nahdlatul ‘Ulama. Begitu pula, generasi penerus
Nahdlatul ‘Ulama jangan sampai bersikap acuh tak acuh terhadap sejarah
perjuangan nenek moyang mereka.
Dengan belajar sejarah, seseorang akan
memahami peran tokoh-tokoh Nahdlatul ‘Ulama kepada bangsa, Negara, dan
agama. Ketika seseorang mempelajari seorang tokoh atau orang sukses dan
muncul sebuah rasa kagum kepada tokoh yang dipelajarinya, sebenarnya
itulah titik awal seseorang menjadikan tokoh yang dipelajarinya itu
sebagai diri ideal (ideal self). Diri ideal (ideal self)
adalah persepsi individu tentang bagaimana seharusnya bertingkah laku
berdasarkan standar pribadinya. Standar ini dapat berhubungan dengan
tipe orang yang diinginkan atau disukainya, atau sejumlah aspirasi,
tujuan, dan nilai yang ingin diraihnya. Dari kondisi tersebut, maka diri
ideal merupakan sebuah acuan di dalam berpikir dan bertindak. Diri
ideal inilah salah satu komponen pembentuk konsep diri (self concept)
seseorang. Sehingga, ketika memalajari sejarah dan peran para tokoh
atau kyai Nahdlatul ‘Ulama, maka seseorang tersebut memiliki ideal
self yang bagus, yang pada akhirnya dapat membentuk konsep diri
yang baik.
Arti penting sejarah yang kedua adalah
sejarah dapat menjadikan seseorang termotivasi untuk melakukan hal yang
lebih baik daripada nenek moyangnya. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa
Nahdlatul ‘Ulama sejak berdirinya (bahkan sejak sebelum berdiri), telah
memberikan kontribusi nyata terhadap bangsa dan agama, meskipun banyak
kontribusinya yang dikaburkan oleh sejarah. Namun demikian, kondisi
tersebut jangan sampai menyurutkan langkah generasi penerus Nahdlatul
‘Ulama di dalam belajar sejarahnya. Sehingga, ketika sudah belajar dan
paham sejarahnya, maka akan dapat termotivasi untuk dapat berbuat lebih
banyak dan lebih baik daripada nenek moyang mereka.
Generasi yang baik bukanlah generasi
yang membanggakan nenek moyangnya, tetapi generasi yang dapat
dibanggakan. Generasi yang baik bukanlah generasi yang hanya dapat
meniru kegiatan-kegiatan atau peran-peran para pendahulu tanpa berkreasi
dan berinovasi. Untuk itulah, ketika belajar sejarah Nahdlatul ‘Ulama,
diperlukan keterampilan analisis terutama analisis peran, apakah peran
yang diberikan oleh Nahdlatul ‘Ulama kurang? Ataukah perlu pembenahan
atau penyesuaian saja? Jika perlu pembenahan, di sector manakah
pembenahan itu? Apakah di sector administrasi, atau manajemen
organisasi, atau kuantitas kegiatan, atau kualitas kegiatan, atau
kohesivitas, atau tingkat kepekaan social, atau tingkat kecepatan di
dalam merespon kondisi, atau di sector lain? Bergerak di bidang apakah
pembenahan yang diperlukan? Apakah untuk bidang pendidikan, atau
kesejahteraan masyarakat, atau pengelolaan pesantren, atau pengelolaan
dakwah, atau bidang yang lain? Jika sudah ditemukan, maka bagaimana
mewujudkan pembenahan itu? Diperlukan langkah strategis apa saja dan
bagaimana? Diperlukan komponen siapa saja dan keahlian apa saja untuk
melaksanakannya? Dengan demikian, ketika seorang Nahdliyyin belajar
mengenai sejarah Nahdlatul ‘Ulama, maka akan dapat mengokohkan
karakteristik Nahdlyyin dan aswaja-nya sekaligus menuntunnya untuk
berbuat lebih banyak dan lebih baik daripada para pendahulunya. Fastabiq
al khayraat!! (diterbitkan Oleh : IPNU Pidie Edisi Juni
2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar