Jumat, 27 Juli 2012

Arti Penting Sejarah


Jas Merah, Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah, adalah ungkapan yang pernah dikatakan oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Sebuah kalimat pendek namun memiliki arti penting yang harus dipahami oleh setiap orang. Sebuah kalimat pendek namun sering diremehkan maknanya oleh banyak orang.
Sejarah, berasal dari kata “syajaratun” (bahasa Arab) yang kemudian diserap menjadi bahasa Indonesia dalam bentuk kata “sejarah”. Syajaratun dalam bahasa Arab memiliki arti “pohon”. Sebuah pohon, pasti memiliki cabang-cabangnya dan bagian-bagiannya, dimana antara bagian yang satu dengan yang lain, saling berhubungan. Sehingga, dari saling keterkaiatn dan keterhubungan itu, diketahui asal mula bagian-bagian pohon (seperti daun, akarn cabang, batang), yaitu berasal dari tunas atau biji. Pohon juga membentuk cabang, yang kemudian dari bentuk itu mengilhami dibuatnya sebuah silsilah atau kronologi dalam sejarah, untuk memudahkan penelusuran sebuah peristiwa tersebut. Dengan demikian, dari belajar sejarah, seseorang dapat menelusuri dan mengetahui alur, kronologi, dan detail peristiwa-peristiwa masa lalu dari berbagai bukti historisnya. Dan dari situ pula, seseorang dapat membuat prediksi atas segala sesuatu yang mungkin saja terjadi di masa yang akan datang. Maka dari itu, sejarah memiliki arti penting.
Arti penting sejarah yang pertama adalah sejarah dapat membentuk karakter asli seseorang. Seperti yang telah dikemukakan, dari sejarah, seseorang dapat mengenal peristiwa masa lalu dan mengetahui berasal darimana dirinya. Sikap semacam ini dapat membawa seseorang pada penguatan karakter.
Nahdlatul ‘Ulama, berasal dari perjuangan para kyai dan kalangan pesantren untuk membantu bangsa dan Negara menuju kemakmuran hidup di dunia dan akhirat kelak. Selain itu, Nahdlatul ‘Ulama muncul sebagai sebuah jam’iyyah diniyyah islamiyyah yang bermanhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dan berhaluan tradisionalis, sebagai “perlawanan” terhadap kalangan modernis—puritan yang kadangkala bersikap esktrem dan radikal. Selain itu, Nahdlatul ‘Ulama tidak serta merta langsung berdiri, namun mengalami metamorphosis yang cukup panjang.
Berangkat dari keprihatinan kalangan pesantren terhadap kondisi bangsa Indonesia dan dengan dibekali kegigihan, kalangan pesantren merespon Kebangkitan Nasional dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi’dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hijaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar.
Dari sejarah Nahdlatul ‘Ulama tersebut, dapat dipahami bahwa kalangan pesantren dan kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah memiliki beberapa karakter yang harus dipertahankan sampai waktu yang tak terhingga. Karakter tersebut adalah peka terhadap kondisi bangsa dan agama, responsive terhadap permasalahan yang terjadi, kreatif dan inovatif di dalam memunculkan dan melaksanakan solusi, bertindak nyata tidak sekedar berwacana, berani dan tidak mudah putus asa, teguh memegang prinsip yang diyakini kebenarannya, serta motivasi yang tinggi untuk selalu memberikan manfaatnya kepada bangsa dan agama.
Banyak peran-peran besar Nahdlatul ‘Ulama terhadap bangsa dan agama selain yang telah dikemukakan tersebut, seperti misalnya peran K.H Hasyim Asy’ari ketika memimpin Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang dibentuk oleh Nahdlatul ‘Ulama dan Muhammadiyah pada tanggal 21 September 1937, peran Resolusi Jihad di dalam membakar semangat jihad melawan penjajah pada tahun 23 Oktober 1945, peran K.H Hasyim Asy’ari ketika memimpin Masjelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tanggal 7 November 1945, peran Nahdlatul ‘Ulama dalam melawan kolonialisme secara terbuka yang salah satunya diwakili oleh Laskar Hizbullah di bawah pimpinan K.H Zaenul Arifin dan Laskar Sabilillah di bawah pimpinan K.H Masykur, peran Nahdlatul’Ulama dalam merumuskan dasar Negara yang diwakili oleh K.H Wahid Hasyim di dalam BPUPKI, peran Nahdlatul ‘Ulama di dalam memberantas PKI, peran Nahdlatul ‘Ulama di dalam membantu menyelesaikan berbagai persoalan Negara dan memajukan bangsa dan agama, dan masih banyak lagi peran-peran besar Nahdlatul ‘Ulama.
Meskipun begitu, peran-peran tersebut seolah-olah telah dihapuskan oleh sejarah. Pepatah “siapa yang berkuasa berhak menulis dan menghapus sejarah” ternyata tidak sekedar kalimat saja. Kalangan Nahdlatul ‘Ulama yang sebenarnya mayoritas namun seperti minoritas, telah dihapuskan oleh para sejarawan dan penguasa negeri ini. Seolah-olah Nahdlatul ‘Ulama hanya sebagai organisasi besar tanpa output yang jelas. Kondisi inilah yang kemudian dapat menyebabkan krisis karakter, yaitu hilangnya karakter dari kalangan pesantren atau kader Nahdlatul ‘Ulama karena figure-figur panutan mereka dan peran para panutan mereka telah dihapuskan atau dikaburkan. Efeknya, Nahdlatul ‘Ulama bisa jadi semakin kehilangan jati diri, terutama kalangan muda Nahdlatul ‘Ulama. Inilah tugas besar bagi Nahdlatul ‘Ulama sendiri. Jangan sampai generasi tua Nahdlatul ‘Ulama tidak mengajarkan sejarah kepada generasi penerus Nahdlatul ‘Ulama. Begitu pula, generasi penerus Nahdlatul ‘Ulama jangan sampai bersikap acuh tak acuh terhadap sejarah perjuangan nenek moyang mereka.
Dengan belajar sejarah, seseorang akan memahami peran tokoh-tokoh Nahdlatul ‘Ulama kepada bangsa, Negara, dan agama. Ketika seseorang mempelajari seorang tokoh atau orang sukses dan muncul sebuah rasa kagum kepada tokoh yang dipelajarinya, sebenarnya itulah titik awal seseorang menjadikan tokoh yang dipelajarinya itu sebagai diri ideal (ideal self). Diri ideal (ideal self) adalah persepsi individu tentang bagaimana seharusnya bertingkah laku berdasarkan standar pribadinya. Standar ini dapat berhubungan dengan tipe orang yang diinginkan atau disukainya, atau sejumlah aspirasi, tujuan, dan nilai yang ingin diraihnya. Dari kondisi tersebut, maka diri ideal merupakan sebuah acuan di dalam berpikir dan bertindak. Diri ideal inilah salah satu komponen pembentuk konsep diri (self concept) seseorang. Sehingga, ketika memalajari sejarah dan peran para tokoh atau kyai Nahdlatul ‘Ulama, maka seseorang tersebut memiliki ideal self yang bagus, yang pada akhirnya dapat membentuk konsep diri yang baik.
Arti penting sejarah yang kedua adalah sejarah dapat menjadikan seseorang termotivasi untuk melakukan hal yang lebih baik daripada nenek moyangnya. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa Nahdlatul ‘Ulama sejak berdirinya (bahkan sejak sebelum berdiri), telah memberikan kontribusi nyata terhadap bangsa dan agama, meskipun banyak kontribusinya yang dikaburkan oleh sejarah. Namun demikian, kondisi tersebut jangan sampai menyurutkan langkah generasi penerus Nahdlatul ‘Ulama di dalam belajar sejarahnya. Sehingga, ketika sudah belajar dan paham sejarahnya, maka akan dapat termotivasi untuk dapat berbuat lebih banyak dan lebih baik daripada nenek moyang mereka.
Generasi yang baik bukanlah generasi yang membanggakan nenek moyangnya, tetapi generasi yang dapat dibanggakan. Generasi yang baik bukanlah generasi yang hanya dapat meniru kegiatan-kegiatan atau peran-peran para pendahulu tanpa berkreasi dan berinovasi. Untuk itulah, ketika belajar sejarah Nahdlatul ‘Ulama, diperlukan keterampilan analisis terutama analisis peran, apakah peran yang diberikan oleh Nahdlatul ‘Ulama kurang? Ataukah perlu pembenahan atau penyesuaian saja? Jika perlu pembenahan, di sector manakah pembenahan itu? Apakah di sector administrasi, atau manajemen organisasi, atau kuantitas kegiatan, atau kualitas kegiatan, atau kohesivitas, atau tingkat kepekaan social, atau tingkat kecepatan di dalam merespon kondisi, atau di sector lain? Bergerak di bidang apakah pembenahan yang diperlukan? Apakah untuk bidang pendidikan, atau kesejahteraan masyarakat, atau pengelolaan pesantren, atau pengelolaan dakwah, atau bidang yang lain? Jika sudah ditemukan, maka bagaimana mewujudkan pembenahan itu? Diperlukan langkah strategis apa saja dan bagaimana? Diperlukan komponen siapa saja dan keahlian apa saja untuk melaksanakannya? Dengan demikian, ketika seorang Nahdliyyin belajar mengenai sejarah Nahdlatul ‘Ulama, maka akan dapat mengokohkan karakteristik Nahdlyyin dan aswaja-nya sekaligus menuntunnya untuk berbuat lebih banyak dan lebih baik daripada para pendahulunya. Fastabiq al khayraat!! (diterbitkan Oleh : IPNU Pidie Edisi Juni 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar