Senin, 12 November 2012

IPNU Cabang Pidie Harus Jadi Benteng Aliran Sesat

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Cabang Pidie, Aceh, diharapkan dapat berada di garda depan dalam  penegakan syariat Islam di Aceh.Demikian disampaikan Wakil Bupati Pidie Irawan, SE dalam kegiatan “Pemantapan Aswaja” di Dayah Asasul Iman Al-Aziziyah Blang Asan, Kota Pidie, Sabtu (3/11). 
Wakil bupati 'kabupaten penghasil krupuk melinjo tersebut' secara resmi membuka pelaksanaan kegiatan ini dan mengatakan IPNU harus menjadi garda terdepan dalam menegakkan syariat Islam, dan menjadi benteng dari aliran sesat dan pandangkalan aqidah yang sudah menebar di Aceh, katanya dalam kegiatan yang diikuti 100 orang peserta yang terdiri dari mahasiswa dan santri dayah .
Kegiatan ini menghadirkan pemateri dari Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama Aceh yaitu wakil Syuriah NU Aceh Ayah Samahani yang memberi materi tentang Keaswajaan, Ketua Tanfidziyah NU Aceh Tgk. H. Faisal Ali tentang peroraganisasian di dalam wadah NU, dan ketua Komisi E DPRK Pidie Drs. Sabirin serta Ketua PW IPNU Aceh Ismi Amran
Dalam kutipan materi yang disampaikan oleh Ayah Samahani selaku wakil syuriah NU Aceh tentang Aswaja, dipaparkan bahwa ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) sangat perlu dipelajari dan diketahui oleh semua orang, baik dari yang tua maupun yang muda; bagi warga nahdiyin sendiri maupun masyarakat umumnya.
Sementara itu Ketua NU Aceh mengimbau kepada para kader IPNU agar menanamkan rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap organisasi, baik yang tergabung dalam kepengurusan IPNU maupun simpatisan, semua itu mempunyai kepentingan di dalamnya. 
“Kalau itu ada pada diri kita maka sebuah organisasi itu akan jalan, jangan cuma diberi mandat atau tugas pada ketua, semua kita harus bekerja sama,” kata Tgk H Faisal Ali.
Sementara itu Ketua Komisi E DPRK Pidie Drs.Sabirin menyampaikan materi tentang peran pemerintah bagi ormas dan OKP. Dikatakannya, pemerintah mendukung dan memsuport setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh ormas ataupun OKP, selama kegiatan itu tidak menyalahi aturan dan tidak melenceng dari aqidah Islam.

Sabtu, 29 September 2012

Duduk bareng bersama kader baru IPNU & IPPNU,,berseta dengan ibunda ERNA dan ibunda SALBIAH,selaku pengurus FATAYAT SIGLI di gedung balai mesapat ureung pidie..guna membicarakan IPNU & IPPNU kedepannya.

Kamis, 20 September 2012

Ikuti Ajang Kaderisasi IPNU-IPPNU Cabang Pidie

MAKESTA 
(MASA KESETIAAN ANGGOTA) 
“Kembangkan Potensi dan Jati Dirimu Melalaui Organisasi” 

Visi & Misi 
Terbentuknya Kader Nahdliyyin yang beriman dan berwawasan kebangsaan Serta memiliki akhlakul karimah yang bernafaskan islam sesuai dengan ajaran Ahlussunnah Waljama’ah.

Tujuan 
1) Wadah berhimpun pelajar putra-putri Nahdlatul Ulama untuk melanjutkan nilai-nilai dan cita-cita    perjuangan NU.
2) Wadah komunikasi, interaksi dan integrasi pelajar putra-putri Nahdlatul Ulama untuk Menggalang Ukhuwah Islamiyah dan mengembangkan syi’ar Islam Ahlussunnah Waljama’ah.
 3) Wadah kaderisasi dan keilmuan pelajar putra-putri Nahdlatul Ulama untuk mempersiapkan kader-kader bangsa.

Syarat-syarat Pendaftaran : 
1. Mengisis Formulir Pendaftaran
2. Aktif Dalam Salah Satu Lembaga Pendidikan
3. Sehat Jasmani dan Rohani
4. Menyerahkan Pas Foto Ukuran 3 x 4 Sebanyak 2 Lembar
5. Usia Antara 15-28 Tahun.

Untuk Informasi Ketentuan Peserta, Formulir Pendaftaran, Hubungi Perwakilan IPNU – IPPNU Cabang Pidie.
Pendaftaran Mulai Tanggal 17 – 25 September 2012
Technical Meeting Tanggal 30 September 2012

KONTAK PERSON : 
1. Asyraful Annam         (0853 7328 9348)
2. Muhammad Saddam (0823 6464 0309)
3. Mustafa Kamal         (0852 7729 6829)

Rabu, 19 September 2012

PERAN IPNU DAN PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI

Kembalinya Ikatan Putra Nahdlatul Ulama ke Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama yang di hasilkan pada kongres di Surabaya XIV tahun 2003 dan di mantapkan pada kongres di Jakarta tahun 2006, menjadi prasasti sejarah bagi era baru perjuangan IPNU merambah dunia pendidikan. Implikasi dari perubahan orientasi kembali ke pelajar adalah memperjuangkan terpenuhinya hak-hak pelajar. Tidak sekedar melakukan proses kaderisasi melalui institusi pendidikan, lebih dari sekedar itu harus terumuskan pula secara filosofi, strategi memperjuangkan dunia pendidikan Indonesia di era globalisasi saat ini. Dunia pendidikan saat ini memasuki ruang kehawatiran (gelap), pribadi pendidikan di negeri ini dis-orientasi, akibatnya target pendidikan kehilangan arah. Mulai dari regulasi yang tidak berpihak pada rakyat, kurikulum yang tidak konstektual, manajemen yang tidak transparan, serta sarana prasarana yang tidak memadai.

Pola pikir masyarat saat ini beruba orentasi tentang makna pendidikan, masyarakat sekarang instan berpikir tentang pendidikan. Pendidikan (sekolah atau kuliah) semata hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Disinilah bangunan berpikir masyarakat kita telah berorentasi pada pasar. Tujuan pendidikan menjadi dangkal, karena hanya berorentasi pada kerja sesuai dengan pangsa pasar. Sementara, makna proses dari pembelajaran untuk mengasah kreativitas dalam karangka ilmiah dan akademik semakin kabur. Hal ini lebih disebabkan oleh nalar berpikir masyarakat kita yang pragmatis sebagai konsekuensi dari keberhasilan kapitalisme di negara dunia ketiga (baca:negara berkembang). Pendidikan menjadi aset penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Karena dengan pendidikan, masyarakat akan tercerahkan, ”melek” pengetahuan dan mampu mencipta dan berkreasi untuk perubahan menuju keadaan yang lebih baik atas negeri ini. Patut disayangkan, upaya menuju tercapainya cita-cita pendidikan tersebut terseret arus globalisasi, yang sekali lagi justru mengerdilkan makna pendidikan.
IPNU harus mampu menyelami ruang batin dunia pendidikan kita. Tanggung jawab sejarah tersebut harus terus diperjuangkan jika tidak ingin organisasi kepelajaran ini dianggap latah dalam menghadapi tantangan global. Lantas, dengan apa IPNU akan bergerak? Paling tidak, IPNU memiliki basis ideologi yang kaya. Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) seharusnya mampu menjadi semangat perjuangan untuk mendapatkan hak-hak pendidikan bagi pelajar Indonesia

Latar Belakang Pendirian IPNU

Setahun sebelum Pesta demokrasi atau Pemilu yang pertama kali di Indonesia, tepatnya pada tanggal 24 Februari 1954 M. atau 20 Jumadil Akhir 1373 H. lahirlah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama yang dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan wadah pengkaderan bagi generasi muda NU yang bersumber dari kalangan pesantren dan pendidikan umum, yang diharapkan dapat berkiprah di berbagai bidang, baik politik, birokrasi, maupun bidang-bidang profesi lainnya. Pada awalnya embrio organisasi ini adalah berbagai organisasi atau asosiasi pelajar dan santri NU yang masih bersifat lokal dan parsial.

Sebagai badan otonom NU, keberadaan IPNU tidak bisa dilepaskan dari grand design NU, karena itu IPNU dituntut untuk senantiasa mengembangkan peran dan fungsinyan untuk fungsi peran dan pelaksana kebijakan dan program NU yang berkaitan dengan masyarakat santri, pelajar, dan mahasiswa. Sebagai konsekuensinya IPNU sebagai garda depan kaderisasi dalam tubuh NU sekaligus mengemban tugas untuk menyosialisasikan nilai-nilai dan ajaran-ajaran NU dalam kehidupan anggotanya.

Konsep Islam tentang Generasi Muda

Para ahli memberi gambaran yang berbeda-beda mengenai batasan pemuda. Untuk itu di bawah ini diberikan gambaran batasan usia pemuda dilihat dari kepentingan agama dan sosial sebagai berikut:

1. Dilihat dari kepentingan kehidupan sosial, dapat dibedakan menjadi 3 kategori:
  1.  Siswa usia antara 6-18 tahun
  2.  Mahasiswa usia antara 18-25 tahun
  3.  Pemuda di luar sekolah usia antara 15-30 tahun

2. Menurut ilmu jiwa agama, batasan pemuda antara usia 13-24 tahun

Dengan demikian kita dapat mengetahui posisi pemuda sehingga dalam tindakan dan berfikir akan dapat menganalisa dengan tepat sehingga nantinya dapat mencarikan jalan keluarnya.

Untuk lebih jelasnya di bawah ini kita beri gambaran secara singkat tentang ciri-ciri kehidupan pemuda sebagai berikut:

1. Kemurnian idealisme
2. Keberanian dan keterbukaannya dalam menyerap nilai-nilai gagasan-        gagasan baru.
3. Semangat pengabdian
4. Spontanitas dan dinamikanya
5. Inovasi dan kreativitasnya
6. Keinginan-keinginan untuk segera mewujudkan gagasan-gagasan baru
7. Keteguhan janjinya dan keinginan untuk menampilkan sikap dan kepribadian yang mandiri
8. Masih langkanya pengalaman-pengalaman yang didapat merelevansikan pendapat, sikap dan tindakannya dengan kenyataan-kenyataan yang ada.

Senin, 27 Agustus 2012

Pengertian as-Sunnah Secara Bahasa (Etimologi)
 
As-Sunnah  secara bahasa berasal dari kata: "sanna yasinnu", dan "yasunnu sannan", dan "masnuun" yaitu yang disunnahkan. Sedang "sanna amr" artinya menerangkan (menjelaskan) perkara.
As-Sunnah juga mempunyai  arti "at-Thariqah" (jalan/metode/pandangan hidup) dan "as-Sirah" (perilaku) yang terpuji dan tercela. Seperti sabda Rasulullah SAW, 
"Sungguh kamu  akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no 3456, 7320 dan Muslim no. 2669 dari Sahabat Abu Sa'id al-Khudri).
Lafazh "sanana" maknanya adalah (pandangan hidup mereka dalam urusan agama dan dunia). 
"Barangsiapa memberi contoh suatu sunnah (perilaku) yang baik dalam Islam, maka baginya pahala kebaikan tersebut dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya, tanpa mengurangi sesuatu apapun dari pahala mereka. Dan barang siapa memberi contoh sunnah (perilaku) yang jelak dalam Islam ...." (HR. Muslim). ((HR. Muslim no. 1017, at-Tirmidzi no. 2675, Ibnu Majah no. 203, ad-Darimi no. 514, Ahmad (IV/357), an-Nasa-i no. 2553, dan yang lainnya dari Sahabat Jarir bin ‘Abdillah. Hadist selengkapknya adalah sebagai berikut, "Dari al-Mundzir  bin jarir, dari bapaknya, dia berkata, "Kami pernah berada bersama Rasulullah SAW pada permulaan terik siang. Dia berkata, ‘Lalu datanglah kepada Rasulullah SAW suatu kaum dalam keadaan tidak beralas kaki dan telanjang, hanya memakai kain selimut (yang nampak dari yang memakainya hanya bagian kepala saja) atua mantel dari karung sambil menyandang pedang, kebanyakan mereka  dari kabilah Mudhar, bahkan semuanya dari Mudhar. Melihat kondisi demikian raut wajah Rasulullah SAW menjadi berubah (karena merasa iba) karena melihat kefakiran yang menimpa mereka. Lalu  beliau masuk kemudian keluar, kemudian  menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan dan iqamah. Rasulullah SAW lalu mengerjakan shalat kemudian dikuti dengan berkhutbah, sambil bersabda : ‘Hai sekalain manusia bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, .... sampai akhir ayat ‘Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu,' (An-Nisaa': 1) juga membaca ayat dalam surat Al-Hasyr, ‘Hari orang-orang  yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memeprhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah....' (Al-Hasyr: 18). (Karena mendengar khutbah Nabi tersebut) Kemudian ada seseorang bershadaqah dari dinarnya, diharmnya, pakaiannya, dari satu sha' (kira-kira 3 kg) gandumnya, satu sha' kurma, sampai-sampai beliau mengatakan walaupun hanya dengan setengah butir kurma kering.' Dia berkata: "Kemudian seorang laki-laki dari Kaum Anshar membawa  membawa sekantung penuh kurma, hampir-hampir telapak tangannya tidak kuat untuk membawahnya, bahkan benar-benar lemah, maka hal itu diikuti silih berganti oleh banyak orang. Sampai-sampai aku melihat dua tumpukan makanan dan pakaian yang sangat banyak. Akupun melihat raut wajah Rasulullah SAW bergembira seakan-akan bersinar cerah sekali,  kemudian beliau bersabda: "Barangsiapa  yang mencontohkan suatu sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahala sunnah tersebut dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa mencontoh suatu sunnah yang jelek/buruk dalam Islam, maka dosanya akan ditanggungnya dan juga dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.')
"Barangsiapa memberi contoh suatu sunnah (perilaku) yang baik dalam Islam, maka baginya pahala kebaikan tersebut dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya, tanpa mengurangi sesuatu apapaun dari pahalam mereka. Dan barangsiapa memberi contoh sunnah (perilaku) yang jelak dalam Islam ...."
Lafazh "sunnah" maknanya adalah "sirah" (perilaku). (Lihat kamus bahasa, Lisaanul ‘Arab, Mukhtaarush Shihaah dan al-Qaamuusul Muhith: (bab: Sannana).
Pengertian as-Sunnah Secara Istilah (Terminologi)
Yaitu petunjuk yang telah ditempuh oleh rasulullah SAW dan para Sahabatnya baik berkenaan dengan ilmu, ‘aqidah, perkataan, perbuatan maupun ketetapan.
As-Sunnah juga digunakan untuk menyebut sunnah-sunnah (yang berhubungan dengan) ibadah dan ‘aqidah. Lawan kata "sunnah" adalah "bid'ah". 
Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian setelahkau, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaknya kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa-ur Rasyidin dimana mereka itu telah mendapat hidayah." (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Syaikh al-Albani). (HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, dan al-Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat keternagan hadits selengkapnya di dalam Irwaa-ul Ghaliil no. 2455 oleh Syaikh al-Albani. 
Pengertian Jama'ah Secara Bahasa (Etimologi)
Jama'ah diambil dari kata "jama'a" artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian dengan sebagian lain. Seperti kalimat "jama'tuhu" (saya telah mengumpulkannya); "fajtama'a" (maka berkumpul).
Dan kata tersebut berasal dari kata "ijtima'" (perkumpulan), ia lawan kata dari "tafarruq" (perceraian) dan juga lawan kata dari "furqah" (perpecahan).
Jama'ah adalah sekelompok orang banyak; dan dikatakan juga sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan.
Dan jama'ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, Mukhtaraarush Shihaah dan al-Qaamuusul Muhiith: (bab: Jama'a). 
Pengertian Jama'ah Secara Istilah (Terminologi):
Yaitu kelompok kaum muslimin ini, dan mereka adalah pendahulu ummat ini dari kalangan para sahabat, tabi'in dan orang-orang yang mengikuti jejak kebaikan mereka sampai hari kiamat; dimana mereka berkumpul berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah dan mereka berjalan sesuai dengan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW baik secara lahir maupun bathin.
Allah Ta'ala telah memeringahkan kaum Mukminin dan menganjurkan mereka agar berkumpul, bersatu dan tolong-menolong. Dan Allah melarang mereka dari perpecahan, perselisihan dan permusuhan. Allah SAW berfirman: "Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (Ali Imran: 103). 
Dia berfirman pula, "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka." (Ali Imran: 105). 
Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (golongan), tujuh puluh dua tempatnya di dalam Neraka dan satu tempatnya di dalam Surga, yaitu ‘al-Jama'ah." (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Imam al-Albani). (HR. Abu Dawud no. 4597, Ahmat (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi (II/241). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Dishahihkan pula oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilatul Ahadadiitsish Shahiihah no. 203.204). 
Beliau juga bersabda, "Hendaknya kalian bersatu, dan janganlah bercerai-berai. Karena sesungguhnya syaitan itu bersama seorang, dan dia dari dua orang lebih jauh. Barangsiapa menginginkan di tengah-tengah Surga, maka hendaknya ia berjama'ah (bersatu)!" (HR Ahmad, dalam Musnadnya, dan dishahihkan oleh Imam al-Albani dalam kitab Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim). (HR. At-Tirmidzi no. 2165, Ahmad (I/18), lafazh ini milik at-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim dan bersamanya kitab Zhilaalul Jannah fi Takhrij as-Sunnah no. 88). 
Seorang Sahabat yang mulia bernama ‘Abullah bin Mas'ud r.a. berkata, "Al-Jama'ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian." (Diriwayatkan oleh al-Lalika-i dalam kitabnya, Syarah Ushul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama'ah). (Syarah Ushuulil I'tiqaad karya al-Lalika-i no. 160 dan al-Baa'its ‘alaa Inkaaril Bida' wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman). 
Jadi Ahlus Sunnah wal Jama'ah, adalah mereka yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jejak dan jalan mereka, baik dalam hal ‘aqidah, perkataan maupun perbuatan, juga mereka yang istiqamah (konsisten) dalam ber-ittiba' (mengikuti Sunnah Nabi SAW) dan menjauhi perbuatan bid'ah. Mereka itulah golongan yang tetap menang dan senantiasa ditolong oleh Allah sampai hari Kiamat. Oleh karena itu mengikuti mereka (Salafush Shalih) berarti mendapatkan petunjuk, sedang berselisih terhadapnya berarti kesesatan. 
Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai karakteristik dan keistimewaan, diantaranya :
1. Mereka mempunyai sikap wasathiyah (pertengahan) di antara ifraath (melampaui batas) dan tafriith (menyia-nyiakan); dan di antara berlebihan dan sewenang-wenang, baik dalam masalah ‘aqidah, hukum atau akhlak. Maka mereka berada di pertengahan antara golongan-golongan lain, sebagaimana juga ummat ini berada dipertengahan antara agama-agama yang ada.
2. Sumber pengambilan pedoman bagi mereka hanyalah al-Qur-an dan as-Sunnah, Mereka pun memperhatikan keduanya dan bersikap taslim (menyerah) terhadap nash-nashnya dan memahaminya sesuai dengan manhaj Salaf.
3. Mereka tidak mempunyai iman yang diagungkan, yang semua perkataannya diambil dari meninggalkan apa yang bertentangan dengan kecuali perkataan Rasulullah SAW. Dan Ahli Sunnah itulah yang paling mengerti dengan keadaan Rasulullah SAW  perkataan dan perbuatannya. Oleh karena itu, merekalah yang paling mencintai sunnah, yang paling peduli untuk mengikuti dan paling lolal terhadap para pengikutnya.
4. Mereka meninggalkan persengketaan dan pertengkaran dalam agama sekaligus menjauhi orang-orang yang terlibat di dalamnnya, meninggalkan perdebatan dan pertengkaran dalam permasalahan tentang halal dan haram. Mereka masuk ke dalam dien (Islam) secara total.
5. Mereka mengagungkan para Salafush Shalih dan berkeyakinan bahwa metode Salaf itulah yang lebih selamat, paling dalam pengetahuannya dan sangat bijaksana.
6. Mereka  menolak ta'wil (penyelewengan suatu nash dari makna yang sebenarnya) dan menyerahkan diri kepada syari'at, dengan mendahulukan nash yang shahih daripada akl (logika) belaka dan menundukkan akal di bawah nash.
7. Mereka memadukan antara nash-nash dalam suatu permasalahan dan mengembalikan (ayat-ayat) yang mutasyabihat (ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian/tidak jelas) kepada yang muhkam (ayat-ayat yang jelas dan tegas maksudnya).
8. Mereka merupakan  figur teladan orang-orang yang shalih, memberikan petunjuk ke arah jalan yang benar dan lurus, dengan kegigihan mereka di atas kebenaran, tidak membolak-balikkan urusan ‘aqidah kemudian bersepakat atas penyimpangannya. Mereka memadukan antara ilmu dan ibadah, antara tawakkal  kepada Allah dan ikhtiar (berusaha), antara berlebih-lebihan dan wara' dalam urusan dunia, antara cemas dan harap, cinta dan benci, antara sikap kasih sayang dan lemah lembut kepada kaum mukminin dengan sikap keras dan kasar kepada orang kafir, serta tidak ada perselisihan diantara mereka walaupun di tempat dan zaman yang berbeda.
9.    Mereka tidak menggunakan sebutan selain Islam, Sunnah dan Jama'ah.
10.  Mereka peduli untuk menyebarkan ‘aqidah yang benar, agama yang lurus, mengajarkannya kepada manusia, memberkan bimbingan dan nasehat kepadanya serta memperhatikan urusan mereka.
11. Mereka adalah orang-orang yang paling sabar atas perkataan, ‘aqidah dan dakwahnya.
12. Mereka sangat peduli terhadap persatuan dan jama'ah, menyeru dan menghimbau manusia kepadanya serta menjauhkan perselisihan, perpecahan dan memberikan peringatan kepada manusia dari hal tersebut.
13.  Allah Ta'ala menjaga mereka dari sikap saling mengkafirkan sesama mereka, kemudian mereka menghukumi orang selain mereka berdasarkan ilmu dan keadilan.
14.  Mereka saling mencintai dan mengasihi sesama mereka, saling tolong menolong diantara mereka, saling menutupi kekurangan sebagian lainnya. Mereka tidak loyal dan memusuhi kecuali atas dasar agama.
Secara garis besarnya, ahlus sunnah wal jama'ah adalah manusia yang paling baik akhlaknya, sangat peduli terhadap kesucian jiwa  mereka dengan berbuat ketaatan kepada Allah Ta'ala, paling luas wawasannya, paling jauh pandangan, paling lapang dadanya dengan khilaf (perbedaan pendapat) dan paling mengetahui tentang adab-adab  dan prinsip-prinsip khilaf.
Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Secara Ringkas
Bahwa Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah suatu golongan yang telah Rasulullah SAW janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba'us sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan menuruti apa yang dibawa oleh nabi baik dalam masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin.
Dengan demikian, maka definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak keluar dari definisi Salaf. Dan sebagaimana telah dikemukakan bahwa salaf  ialah mereka yang mengenalkan Al-Qur-an dan berpegang teguh dengan As-Sunnah. Jadi Salaf adalah Ahlus Sunnah yang dimaksud oleh Nabi SAW. Dan ahlus sunnah adalah Salafush Shalih dan orang yang mengikuti jejak mereka.
Inilah pengertian yang lebih khusus  dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Maka tidak termasuk dalam makna ini semua golongan ahli bid'ah dan orang-orang yang mendikuti keinginan nafsunya, seperti  Khawarij, Jahmiyah, Qadariyah, Mu'tazilah, Murji'ah, Rafidhah (Syiah) dan lain-lainnya dari ahli bid'ah yang meniru jalan mereka.
Maka sunnah adalah lawan kata bid'ah, sedangkan jama'ah lawan kata firqah (gologan). Itulah yang dimaksudkan dalam hadits-hadits tentang kewajiban berjama'ah dan larangan bercerai-berai.
Inilah yang dimaksudkan oleh "Turjumanul Qur-an (juru bicara al-Qur-an)" yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. dalam menafsirkan firman Allah Ta'ala, "Pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula maka yang hitam muram". (Ali Imran: 106).
Beliau berkata, "Muka yang putih berseri adalah muka Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan muka yang hitam muram adalah muka ahlil bid'ah dan furqah (perselisihan)." (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Juz I hal. 390 (QS. Ali Imran: 106).
sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm. 50 -60
Lahirnya nama Ahlus Sunnah Waljamaah  ?

Bilakah lahirnya nama Ahlus Sunnah Waljamaah ?
 
Dahulu di zamaan Rasulullaah SAW. kaum muslimin dikenal bersatu, tidak ada golongan ini dan tidak ada golongan itu, tidak ada syiah ini dan tidak ada syiah itu, semua dibawah pimpinan dan komando Rasulullah SAW.
Bila ada masalah atau beda pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah SAW. itulah  yang membuat para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi.
Kemudian setelah  Rasulullah SAW. wafat, benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Imam Ali kw. menjadi khalifah. Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu yaitu akidah Islamiyah, meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh Ibin Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus faham Syiah (Rawafid).
Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah faham-faham yang bermacam-macam yang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW.
Saat itu muslimin terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai golongan-golongan ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam, seperti Mu’tazilah, Syiah (Rawafid), Khowarij dan lain-lain. Sedang bagian yang satu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang tetap berpegang teguh kepada apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah SAW. bersama sahabat-sahabatnya.
Golongan yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongannya dan akidahnya Ahlus Sunnah Waljamaah. Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan yang mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah.
Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : bahwa golongan yang selamat dan akan masuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan yang mengikuti apa-apa yang aku (Rasulullah SAW) kerjakan bersama sahabat-sahabatku.
Dengan demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah adalah akidah Islamiyah yang dibawa oleh Rasulullah  dan golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah umat Islam.  Lebih jelasnya, Islam adalah Ahlus Sunnah Waljamaah dan Ahlus Sunnah Waljamaah itulah Islam. Sedang golongan-golongan ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah, Syiah(Rawafid) dan lain-lain, adalah golongan yang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW yang berarti menyimpang dari ajaran Islam.
Dengan demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah itu sudah ada sebelum Allah menciptakan Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hambali. Begitu pula sebelum timbulnya ahli bid’ah atau sebelum timbulnya kelompok-kelompok sempalan.
Akhirnya yang perlu diperhatikan adalah, bahwa kita sepakat bahwa Ahlul Bait adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi SAW. dan mereka tidak menyimpang dari ajaran nabi. Mereka tidak dari golongan ahli bid’ah, tapi dari golongan Ahlus Sunnah.
Demikian sekilas lahirnya nama Ahlus Sunnah Waljamaah.

editor by cek wen

ABU KEUMALA Ulama yang Sederhana dan Menyukai Kholwat

Secara umum masyarakat di Aceh lebih mengenal Teungku Haji Syihabuddin Syah dengan nama Abu Keumala, nama tersebut merupakan nama panggilan beliau sewaktu mengaji di Labuhan Haji. Selain sebagai ulama, Abu Keumala juga di kenal sebagai orator ulung di masanya. Keunikan pidato Abu Keumala adalah apa saja yang dilihat atau yang sedang terjadi, bisa beliau ciptakan sebagai perbandingan dalam berpidato, terutama yang menyangkut tentang masalah ketauhidan.

Abu Keumala merupakan pencerah di bidang Tauhid Sehingga beliau juga di gelar sebagai Ulama Tauhid. Disamping mengadakan pengajian dan ceramah, Abu Keumala juga aktif menulis, di antara buku karangan beliau yang terkenal adalah Risalah Makrifah.

Asal usul
Seuneuddon merupakan salah satu kecamatan di pesisir Aceh Utara, daerah ini telah banyak melahirkan ulama–ulama besar, tapi kebanyakan ulama tersebut tidak bermukim di Seuneuddon. Di antara ulama besar  yang tidak bermukim di Seuneuddon tersebut adalah: Teungku Muhammad (Abu Seuriget) Pimpinan Dayah Darul Mu'arif Langsa, Teungku Muhammad Amin pendiri dayah Malikussaleh Panton Labu (mulai tahun 1965–1975), Teungku Ibrahim Bardan (Abu Panton) pimpinan Dayah Malikussaleh di Panton Labu (mulai tahun 1975 hingga sekarang), Teungku Karimuddin (Abu Alue Bilie) pimpinan dayah Babussalam Panteu Breuh, Kemudian Teungku Syihabuddin Syah atau yang lebih terkenal dengan panggilan Abu Keumala juga berasal dari Seuneuddon, tepatnya di desa Tanjong Pineung, beliau lahir sekitar tahun 1928.

Ketinggian ilmu agama Teungku Syihabuddin Syah karena beliau merupakan murid ulama–ulama besar di Aceh. Semenjak remaja Teungku Syihabuddin Syah sudah belajar di dayah Keumala Kabupaten Pidie kemudian di dayah Labuhan Haji, Aceh Selatan yang dipimpin oleh ulama besar Teungku Haji Muhammad Waly Al-Khalidi (Abuya Muda Waly). Karena lama belajar di dayah Keumala , maka Teungku Syihabuddin Syah dikenal dengan panggilan Teungku Keumala atau Abu Keumala.

Mungkin panggilan seperti ini agak sedikit tidak lazim, karena biasanya seorang ulama dipanggil berdasarkan nama kampung asal atau tempat di mana beliau menetap, bukan dimana tempat beliau mengaji. Teungku Syihabuddin Syah menikah pada tahun 1957 dengan salah seorang putri yang merupakan  cucu gurunya di Keumala, dari perkawinan tersebut beliau dianugrahi Sembilan orang anak.

Bermukim di Medan
Ketika  Konflik bersenjata di Aceh tahun 1953, beliau memperlihatkan sikap tidak menyetujuinya. Karena itu beliau pindah ke Medan. Seorang pemuka masyarakat, Haji Manyak Meureudu, mewakafkan sebidang tanah 25 x 25 meter yang diatasnya ada bangunan sederhana terletak dipasar II jalan Sei Wampu, Kampung Babura, Medan Baru. Di tempat ini ditampung 30 orang pelajar Aceh yang menuntut ilmu di berbagai peguruan tinggi di Medan. Di tempat itu juga Ustadz Syihabuddin memberi pelajaran agama, baik bagi penghuni asrama maupun bagi kaum muslimin di sekitar  tempat itu. Di tempat itu juga Ustadz Syihabuddin memberi pelajaran agama kepada keluarga – keluarga tokoh – tokoh masyarakat Aceh di Medan.

Pertikaian antara dua etnis di Medan pada tahun 1956, menyebabkan Asrama Pelajar di Pasar II Jalan Sei Wampu Kampung Babura Medan Baru, diserbu oleh sekitar 36 orang tidak dikenal. Asrama tersebut di porak–porandakan, kemudian dibakar. Penghuninya Teungku Syihabuddin Syah yang mengajar di tempat itu di pukul dengan broti di  kepalanya hingga tidak berdaya namun beliau dapat di selamatkan ke rumah sakit.

Hancurnya asrama yang selama itu di huni oleh 30 orang pelajar dan mahasiswa  yang juga tempat pengajian bagi masyarakat yang ada di sekitar tempat itu, maka menjadi masalah bagi pemuka – pemuka masyarakat Aceh di Medan. Mereka mencari jalan untuk menampung pelajar dan mahasiswa yang asramanya tidak ada lagi juga tempat pengajian telah porak–poranda.

Pendirian Sekolah Islam
Masalah asrama pelajar/mahasiswa Aceh sekaligus tempat pengajian berhasil diatasi pada tahun 1956 itu juga. Hal itu berkat jasa baik Tuanku Hasyim S.H. atas nama Yayasan Sosial Medan mewakafkan sebidang tanah ukuran 9,5 x 17 meter. Di atas tanah itu ada bangunan tua yang dapat digunakan. Tanah itu terletak di pasar Melintang, sekarang Jalan Darussalam 24 Medan. Nama jalan itu diusulkan oleh Teungku Syihabuddin Syah kepada Wali Kota Medan dan di terima baik oleh Wali Kota, Haji Muda Siregar (tahun 1957).

Karena digunakan untuk kegiatan pendidikan agama, maka pada tahun 1960 tempat itu diberi nama Asrama  Madrasah Pesantren Miftahussalam. Kemudin dibuka SRI (Sekolah Rendah Islam), SMI (Sekolah Menengah Islam), SMIA (Sekolah Menengah Islam Atas), yang langsung dipimpin oleh  Teungku Syihabuddin Syah dan Teungku Abdussalam Abdullah. Nama tingkat pendidikan itu kemudian berubah menjadi Diniyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.

Untuk memperkokoh perhatian kaum muslimin terhadap Miftahussalamah, Teungku Syihabuddin Syah mengajar orang–orang tua murid untuk mengikuti majelis pengajian yang diberi nama Safinatussalamah (kapal penyelamat), sedangkan yang menjadi guru adalah beliau sendiri. Pengajian itu berkembang dengan pesat di kota Medan. Pada waktu yang bergiliran Teungku Syihabuddin Syah memberi pengajian yang berjumlah sekitar 11 tempatdi Kota Medan dengan menggunakan kendaraan VW Combi yang di setir oleh beliau sendiri.

Nama komplek Asrama Madrasah Pesantren itu oleh Teungku Syihabuddin Syah diganti pada tahun 1977 menjadi Pendidikan Islam Miftahussalam. Lancarnya pembangunan komplek Miftahussalam itu atas dasar wakaf kaum muslimin, sehingga berhasil membuka  SLTP dan SMU Darussalam. Tenaga pengajarnya adalah para sarjana dari berbagai disiplin ilmu yang menjadi penghuni asrama.

Pendidikan Islam Miftahussalam telah berbadan hukum , yang Ketua Umumnya adalah Teungku Syihabuddin Syah, maka sekarang sudah lengkap tingkat pendidikan agama, dan juga SLTP dan SMU. Komplek Miftahussalam pada tahun 2004 menampung sekitar 1500 siswa dan siswi yang belajar pagi dan sore. Siswi SLTP dan SMU semua berjilbab dan pada waktu shalat Ashar seluruh siswa yang belajar sore shalat berjamaah di Mesjid Taqarrub. Di komplek Mesjid Taqarrub juga dibuka TK Al-Qur’an.

Ketika Asrama dan Pesantren Miftahussalam masih merupakan bangunan yang sangat sederhana, Abu Keumala mempunyai ruangan sendiri sekaligus tempat tinggalnya. Selama beberapa tahun di tempat itu beliau melakukan Khulwah di setiap bulan Ramadhan. Selama Khulwah beliau tidak berbicara dengan siapapun, komunikasi dilakukan dengan surat menyurat.

Akhir hayat
Sebelum meninggal kesehatan beliau terus menurun. Mula–mula gangguan mata hingga tidak dapat membaca kitab, walaupun telah berobat ke dokter ahli mata di Medan, tidak juga membawa hasil. Juga di bawa berobat ke Penang namun tidak ada perobahan. Kemudian datang lagi gangguan penyakit gula. Begitu pun beliau tetap berusaha menjadi imam seperti dalam bulan Ramadhan. Juga beliau memberi kuliah agama, walaupun porsinya tidak seperti sebelumnya.

"Seorang demi seorang  benteng agama meninggalkan kita. Kita bersedih bukan karena kepergian beliau, tetapi karena hilangnya benteng agama, mujahid Islam yang telah banyak jasanya kepada masyarakat". Demikian dikatakan oleh Al-Ustadz Drs Haji Halim Harahap, mewakili para khatib Masjid Taqarrub Jalan Darussalam 26 ABC Medan, ketika melepas jenazah Al – Ustadz Teungku Haji Syihabuddin Syah atau Abu Keumala sebelum di berangkatkan ke tempat persemayaman terakhir di komplek perkuburan Mesjid Raya Al-Mansur jalan Sisingamangaraja, Medan.

Abu Keumala meninggal di rumah kediamannya di jalan Karya Bhakti Gang Rukun No: 2 Medan, setelah menderita sakit semenjak bulan April 2004. Beliau meninggal hari Jumat, 9 Juli 2004. Upacara pelepasan jenazah dilangsungkan di Mesjid Taqarrub, mesjid yang beliau bangun bersama kaum muslimin, baik yang ada di Medan maupun yang berada di luar Kota Medan.

Masjid tempat beliau mengucurkan ilmu agama, baik dalam pengajian baik dalam pengajian ibu–ibu dan bapak-bapal. Kuliah agama di berikan di mesjid itu terutama di bulan Ramadhan selesai Shalat Tarawih, kemudian kuliah Shubuh baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan.

Pada acara pelepasan juga ikut berbicara Prof Dr Haji Aslim Sihotang yang menguraikan tingginya ilmu yang di miliki oleh Almarhum Al–Ustadz Teungku Haji Syihabuddin Syah atau Abu Keumala. Ia menganjurkan supaya kitab yang ditulis olh Almarhum pada tahun 1983 yang 4 jilid berjudul Risalah Makrifah agar di cetak, yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh murid – muridnya. (Tgk Zulfahmi MR; staff pengajar di Dayah Raudhatul Ma'arif Cot Trueng – Muara Batu – Aceh Utara, Tulisan ini Merupakan nukilan dari buku : Biografi Ulama - Ulama Aceh Abad XX Jilid III).